Pierre Tandean, seorang perwira militer Indonesia yang menjadi korban pada peristiwa G30S PKI di tahun 1965. Ia mengawali karier militernya menjadi intelijen dan ditunjuk menjadi Ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Perjuangan Pierre dalam membela negara sangatlah menginspirasi. Ia memilih untuk masuk Akademi militer untuk bisa berkorban demi negaranya. Padahal sebelumnya kedua orang tua Pierre meminta Beliau untuk menjadi dokter atau insinyur.
Meski ia tetap ingin masuk ke militer, Tandean berusaha untuk tidak mengecewakan hati kedua orang tuanya. Beliau mencoba untuk menghibur hati orang tua dengan mendaftar ke AMN. Selain itu Beliau juga mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tetapi ia tidak lolos tes untuk masuk Universitas itu. Kakak Pierre Tandean,, Mitzi Farre, mengatakan kalau adiknya tidak lulus bukan karena gagal, tetapi karena ia memang tidak mengerjakan soal ujian tes tersebut.
Tetapi karena tekatnya yang kuat, ia akhirnya berhasil untuk masuk ke Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung pada tahun 1958.
Kala menjadi taruna, Pierre dikenal sebagai sosok yang disiplin dan juga ramah pada semua orang. Pribadi yang dimilikinya sangat baik dan penuh dengan jiwa kepemimpinan. Itu yang membuat dia terpilih menjadi Wakil Ketua Senat Korps Taruna.
Selain itu Beliau ketika menjadi taruna, pernah mengikuti tugas lapangan di dalam operasi militer penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera.
Setelah ia lulus dari Akademi Militer di tahun 1961 dengan pangkat letnan 2, Pierre Tandean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/ bukit barisan di Medan. Satu tahun kemudian Beliau mengikuti pendidikan sekolah intelijen di Bogor.
Setamatnya dari sana, ia lalu ditugaskan untuk melakukan Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat untuk bisa menjadi mata – mata ke Malaysia berhubungan dengan konfrontasi diantara Indonesia dengan Malaysia.
Di sana ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan yang berada di beberapa daerah untuk bisa menyelusup ke Malaysia. Di tanggal 15 April 1965, Tandean dipromosikan menjadi letnan 1 dan bertugas untuk menjadi ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Ternyata tugasnya itu mengantarkan pada malam menegangkan yang membuat ia harus gugur. Tepat pada dini hari tanggal 1 oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September mendatangi rumah Nasution. Tujuan mereka adalah menculik Jenderal tersebut dan membawanya ke lubang buaya.
Karena suasana saat itu sangat gaduh akan suara tembakan, Pierre Nasution yang awalnya sedang tertidur, terbangun karena suara tersebut. Beliau pun berlari ke bagian depan rumah. Di sana ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua, Djahrup.
Gerombolan itu mengira kalau Tandean merupakan Jenderal Nasution, karena saat itu kondisi rumah gelap. Sedangkan Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dengan cara melompati pagar. Setelah itu Tandean dibawa ke sebuah rumah yang berada di daerah Lubang Buaya bersama dengan enam perwira tinggi lain.
Saat itu masih ada Soeprapto, Soetojo, dan Parman yang masih hidup. Sedangkan Ahmad Yani, D.I. Pandjaitan, dan M.T. Harjono sudah terbunuh. Tandean-pun di tembak mati dan jenazahnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama dengan 6 jasad perwira lain.
Dari kisah Pierre Tandean ini, kita dapat melihat betapa berkorbannya Pierre berkorban untuk negara. Bahkan meski sempat ditentang orang tuanya untuk masuk militer, ia tetap berusaha membahagiakan mereka dengan mencoba apa yang orang tuanya inginkan.
Kepergian Pierre tentunya memberikan luka mendalam bagi yang ditinggalkan. Kini banyak milenial yang mengidolakan sosok Pierre Tandean karena kisah hidupnya yang berhasil membuat kita ingin ikut berkorban demi negara.